Siapa yang tidak kenal dengan permen DAVOS?!
Pantas yaa kalau permen yang satu ini dianggap legenda dibidangnya. Permen yang dilahirkan oleh Siem Kie Djan pada tahun 1931 (apakah teman-teman sudah lahir pada tahun itu?!). Siem Kie Djan adalah peranakan Tionghoa dengan Purbalingga, makanya Davos lahir di Purbalingga. Sampai ada yang bilang "Bukan orang Purbalingga, jika tidak mengenal Davos!".
Asal mula Siem Kie Djan melahirkan Davos yaitu ketika Siem Kie Djan membeli sebuah mesin pencetak permen dari negara Belanda plus mendapatkan resep membuat permen. Nama Davos yang dipilih Siem Kie Djan berasal dari nama kota di Swiss. Kota dengan suhu yang dingin yang dijadikan sebagai ciri khas dari pepermint.
Produksi permen yang hingga kini tetap mempertahankan bentuk keasliannya, berbentuk tablet besar, berwarna putih, terbungkus kertas berwarna ungu tua/biru tua dan 10 tablet per bungkus mencapai puncaknya pada tahun 1933-1937 dan pemasarannya tidak hanya berpusat di Purbalingga tapi juga hingga Cilacap. Pada jamannya, jarak antara Purbalingga - Cilacap berjarak 90km dan pendistribusian hanya dapat menggunakan pedati.
Hingga pada tahun 1942 dimana Jepang sedang menduduki Indonesia, produksi permen Davos memiliki penurunan dikarenakan pemasarannya terhambat peraturan yang dikeluarkan pemerintah Jepang. Seiring kemerdekaan Indonesia, produksi permen Davos kembali bersinar.
Sekarang ini, permen Davos tetap diproduksi di bawah naungan PT. Slamet Langgeng di Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah. Namun, bukan lagi Siem Kie Djan yang memimpin, sang cucu Budi Handoyo Hardi serta istri dan kedua anaknya yang kini memimpin produksi permen Davos. Sang ibunda Budi (anak tertua Siem Kie Djan) berpesan bahwa meskipun kepemimpinan perusahaan berganti, permen Davos tak akan berubah. Hanya kemasan yang boleh berubah, tetapi bungkus biru tidak boleh diganti, harus tetap diproduksi.
Menurut Budi, Davos tetap diproduksi untuk pasaran kelas menengah hingga kelas bawah. Sehingga, tempat pemasarannya pun mengikuti kelasnya yakni sekitar pasar-pasar tradisional. Harganya pun dapat dikatakan murah sekitar Rp 700 per bungkus.
Menurut pengalaman pribadi saya, permen Davos masih bisa saya jumpai di kampung halaman saya di Ngadirejo Temanggung Jawa Tengah dan saya pun membelinya Rp 1000 per bungkus yang berarti Rp 10000 untuk 10 bungkus. Harga segitu saja masih saya anggap murah loh ternyata harga dari pabriknya Rp 700 per bungkus. Yah!! Engga apa-apa toh si Nci Jey (si penjual) cuman dapet untung Rp 300. Bukan masalah besar.
Lain cerita, ketika saya tidak sengaja datang ke salah satu mall di Bogor dan ternyata ada sebuah kios "Jajanan Lama" yang menjual permen Davos. Niat mau beli karena stock di rumah udah abis. Tapi tiba-tiba saya mengurungkan niat karena harga yang tertera Rp 10000 untuk 3 bungkus. Edaaaaan!! Ngambil untung berapa ini toko?!
Wajar kalau barang jadul diberikan harga mahal, tapi permen Davos bukan barang langka loh. Jadi menurut saya harga segitu jelas bukan pilihan saya untuk membelinya. Kalau anda? itu terserah yaa.. :)
Jika ada yang ingin pesan permen Davos, dengan senang hati saya akan membantu membelikannya. Tapi kalau saya pulang kampung yaa. hihihi. Semoga Nci Jey engga naikin harganya yaa tetap Rp 10000 per 10 bungkus bukan Rp 10000 per 3 bungkus.. :D
salam, peluk, cium! :*
thanks to Kompas, Sabtu 8 Januari 2011 :)