Sebenernya saya sangat ragu untuk membahas topik yang satu ini. Tapi saya yakin bahwa hak setiap orang untuk mengungkapkan pendapatnya. Kalau untuk mengungkapkan pendapat saja tidak boleh lebih baik kita balik lagi saja ke jaman penjajah.
Ini pengalaman pribadi saya dan ibu saya. Saya dan ibu pergi ke sebuah toko yang menjual buku-buku bekas. Sudah beberapa kali saya datang ke toko itu. Yaa engga sering koq. Saya senang datang ke toko itu karena engga jarang saya dapat buku-buku novel dengan harga miring. Mayoritas harga novel yang saya lihat harganya 25.000 sampai 30.000. Kondisi buku juga relatif baik.
Jadi ceritanya, kurang lebih dua minggu yang lalu saya dan ibu kembali mengunjungi toko buku bekas tersebut. Tujuan utama saya memang selalu rak bagian novel dan psikologi. Setelah pilih-pilih, saya segera ke kasir untuk membayar dan disambut oleh bapak-bapak yang kalau dilihat usianya belum terlalu tua mungkin usianya kepala 4. Bapak ini penampilannya seperti kebanyakan orang muslim yang memelihara jenggot, memakai kemeja, celana ngatung dan bersandal.
Setelah membayar, saya tertarik dengan flyer yang mengatakan bahwa toko buku bekas tersebut menerima penjualan buku-buku bekas dengan beberapa persyaratan. Ternyata ibu saya juga melihat dan tertarik. Ibu pun bertanya kepada bapak kasir "Terima penjualan buku juga ya pak?!". Si bapak dengan cueknya menjawab "Bisa!" sambil menulis bon pembelian buku yang saya beli. Ibu bertanya lagi "Harganya dijual berapaan pak?!". Lagi-lagi bapak kasir menjawab dengan dinginnya "Tergantung kondisi buku!". Setelah itu ibu saya tidak bertanya lagi cuma di dalam hati bertanya, "Salah apa saya? Koq bapak ini jawabnya jutek sekali."
Tiba-tiba datang seorang ibu-ibu yang penampilannya menggunakan jilbab panjang hingga sepanjang pinggang yang akan membayar di kasir. Ibu pembeli itu bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti pertanyaan ibu tetapiiii yang berbeda bapak kasir menjawab dengan sangat manis bahkan sambil tersenyum. Padahal situasi bapak kasir masih tetap menulis bon milik saya. HOW COME?! Melihat drama si bapak kasir, ibu saya memilih diam dan segera mengajak saya pergi.
Setelah itu, saya tidak memikirkan lebih lanjut peristiwa kasir. Bodo' amatan! Saya malah lebih tertarik dengan penjualan buku-buku. Kebetulan saya punya banyak buku-buku novel lama yang sudah tidak menarik lagi buat saya. Jadi kepengen mencoba jual buku. Seperti apa sih sensasinya?! *norak*
Dan akhirnyaaa, minggu ini saya berhasil meniatkan diri untuk menjual sekitar 10 buku novel milik pribadi sambil ditemani pacar (tentu!). Sampai di toko buku bekas, saya tidak langsung menuju pemiliknya untuk menjual, tapi lihat-lihat dulu di rak bagian novel dan (lagi) saya menemukan 2 novel dengan harga 25.000 dan 15.000. Yaaah!! Murah yaa?! 40.000 udah dapet 2 novel yang dari dulu saya incer di Gramedia. :)
Saya pergi ke kasir. Kali ini bukan bapak kasir yang menyambut saya, melainkan ibu-ibu yang juga berpenampilan muslimah dengan jilbab panjang hingga pinggang dan menggunakan kaca mata (klo engga salah). Setelah saya membayar, segera saya utarakan niat kedatangan saya untuk menjual buku. Yaaaah, lagi-lagi jawaban dengan sikap dingin yang saya dapatkan. Ibu kasir hanya menjawab "Nanti deh! Tunggu bapaknya saja.". Saya tanya lagi "Memang bapaknya lagi kemana bu?". "Lagi sholat!" Singkat, jelas dan padat! Irit amat yaa ngomong doang. Engga bayar koq.
Tidak lama, si bapak yang dimaksud ibu kasir datang. Oalaaah, ternyata yang ditunggu adalah si bapak kasir itu toh. Hmm, jadi pengen tau reaksinya kali ini seperti apa. Setelah tahu tujuan kedatangan saya, bapak kasir langsung mengambil semua buku saya dan diletakkan di bawah. Si bapak kasir sendiri mengambil kursi kecil (dingkli) dan dia membagi-bagi buku saya menjadi tiga tumpukan. Saya sendiri hanya berdiri di dekatnya dan melihat aksinya. Awalnya saya mengira bapak kasir sedang memilah buku mana yang dia mau beli dan mana yang dia tolak. Ternyata bukan itu tujuannya. "Yang ini 2000, yang ini 3000 dan yang ini 5000." Hooo, ternyata pembagian itu untuk menentukan harga-harga buku. Tapii WHAT?! Buku gw cuman dihargain 2000 perak?! Hiks hiks hiks :"(((( "Yang ini 2500 deh!" Hah?! Yang 2000 perak cuman ditambahin 500 perak?! Segitu murahnya kah harga buku bekas baca kalau dijual? Tapi koq kalau dijual bisa sampai 30.000?! Hayyyoooo!! Untungnya berlipat-lipat tuh! Untungnya udah berlipat-lipat tapi tetep yaa irit ngomong dan bersikap dingin. Masih kurang kali yaa untungnya?!
Selama transaksi berlangsung, sikap bapak kasir tidaklah berbeda dengan saat saya datang dengan ibu. Tetap dingin dan kurang bersahabat. Saya sangat tidak mempermasalahkan buku saya dihargai murah sekali. Tapi sikap beliau itu yang bikin saya RISIH! (maaf di capslock!) Bisa yaa dia bersikap manis dan ramah dengan pembeli yang "sama" dengan dia. (engga perlu dijelaskan maksud sama di sini apa), sedangkan dengan saya dan ibu?! Memang harus yaa bapak kasir bersikap seperti itu?! Kan saya, ibu dan ibu pembeli itu sama-sama pembeli yang membeli dengan harga yang sesuai dengan pricetag, engga pakai ngutang lagi! Kenapa sikap yang diberikan begitu berbeda?! Jadi sedih! :(
Setelah kejadian itu, saya cukup tahu saja sikap-sikap dari bapak dan ibu kasir. Saya tidak mau memusingkan sikap mereka, cuman menyanyangkan. Biarkan saja mereka hidup dengan kedinginan mereka. Toh, sikap tidak ramah mereka tidak akan mungkin dianggap mulia dengan Sang Pencipta. Saya juga akan tetap datang ke toko buku besar dan akan tetap membeli jika ada buku yang bagus, walaupun saya tahu bahwa buku yang akan saya beli didapat dengan harga yang sangat murah.
Saya minta maaf jika postingan saya kali ini menyinggung hati Anda. Saya menulis cerita ini hanya untuk mencurahkan hati saya. Thats it, no more! *peace*
With Love,
1 comment:
Hum..setelah membaca postingan ini,saya jadi ingat cerita teman saya. Kebetulan kami saat ini sedang melanjutkan kembali kuliah ke jenjang berikutnya, saya yg seorang wanita dan teman saya yg juga wanita, harus menjalani praktek kerja lapangan, sebagai salah satu bagian dr proses perkuliahan kami. Ketika teman saya sedang menjalani praktek di sebuah instansi. Dia mendapatkan sebuah pertanyaan atau bisa juga disebut pernyataan dr salah seorang pegawai disana, "ngapain mba sekolah tinggi2 kodratnya wanita itu kan setelah dewasa menikah, & melayani suami di rumah, Pada zaman Rasulullah perempuan itu tdk ada yg sekolah sampai tinggi". Saya bersyukur bukan saya yg mengalami peristiwa itu seorang diri. Syukur teman saya bisa menjawab dgn bijak. Saya heran, di zaman modern saat ini, di zaman yg "KATANYA" emansipasi perempuan.. Hal tersebut msh kita hadapi sebagai seorang perempuan.. Sebuah perbedaan.. Perbedaan yg berrmacam2 dr cerita diatas, silahkan cari sendiri perbedaan tersebut. Mohon maaf jika ada hal kurang berkenana, ini hanya sebuah comment dari sebuah postingan yang berbeda..terima kasih.
Post a Comment